Jelang pelaksanaan konferensi PBB mengenai perubahan iklim ke-27 atau COP27, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan peningkatan target penurunan gas rumah kaca (GRK). Kenaikan komitmen itu tercantum dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang dirilis pada 23 September 2022. Terbitnya dokumen ENDC sesuai dengan amanat COP26 di Glasgow yang menyatakan setiap negara harus meningkatkan target Updated NDC 2021. Itu dimaksudkan agar skenario pencegahan kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C dapat tercapai. Berdasarkan ENDC, target penurunan emisi GRK Indonesia dengan kemampuan sendiri naik dari 29 persen menjadi 31,89 persen. Adapun target dengan dukungan internasional naik dari 41 menjadi 43,20 persen. Perubahan target tersebut merupakan akumulasi dari lima sektor yang menjadi fokus penurunan emisi, yaitu kehutanan dan lahan (FOLU), energi, limbah, industri, dan pertanian. Dengan kemampuan sendiri, sektor FOLU meningkat 1 persen, energi naik 14 persen, industri naik 133 persen, pertanian naik 11 persen, dan sektor limbah naik sampai 264 persen. Sedangkan target dengan skenario bantuan internasional, sektor FOLU meningkat 5 persen, limbah naik 9 persen, industri naik 177 persen, dan pertanian naik 200 persen. Sedangkan target penurunan emisi untuk sektor energi tidak berubah.

Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Dirjen PPI KLHK) dalam rilisnya menjelaskan, kenaikan target tersebut dibentuk berdasarkan berbagai kebijakan nasional yang sedang berjalan. Kebijakan yang menjadi acuan antara lain FOLU Net-sink 2030, percepatan penggunaan listrik, kebijakan B40, peningkatan aksi di sektor limbah, peningkatan target sektor pertanian dan industri, serta Perpres 18/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. “Melalui penguatan kebijakan ini, kami optimis Indonesia mampu menghadapi tantangan dan dampak perubahan iklim yang meluas, baik di nasional maupun global,” ujar Menteri KLHK Siti Nurbaya, dilansir dari KLHK (27/10).

Hanya saja, kelompok masyarakat sipil menilai peningkatan target iklim Indonesia ini belum optimal. Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, Adhityani Putri menyatakan peningkatan target iklim ini merupakan hal yang patut diapresiasi. Namun, ia menilai target yang ditetapkan masih belum cukup untuk menahan laju kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C. “Berdasarkan analisis Climate Action Tracker (CAT) dan World Resource Institute (WRI), seharusnya Indonesia menurunkan emisi lebih dari 50 persen,” ucap Dhitri—panggilan akrab Adhityani pada Katadata (31/10). Spesialis Clean Fuel pada Institute for Essential Service Rreform (IESR) Julius Christian Adiatma pada wawancaranya dengan Katadata (1/11) juga mengatakan Indonesia seharusnya sudah mencapai puncak emisi pada 2025. “Tapi dengan target ENDC, sampai 2030 pun peningkatan emisinya masih tajam,” kata Julius.

Selain target emisi yang dinilai bisa lebih ambisius, persoalan lain yang disoroti kelompok masyarakat sipil adalah basis penilaian untuk penetapan target ENDC. Program Officer Hutan dan Iklim pada Yayasan Madani Berkelanjutan, Yosi Amelia mengatakan pemerintah perlu mempublikasikan perhitungan baseline yang digunakan dalam penetapan target pengurangan emisi pada masing-masing sektor. “Sampai saat ini, pemerintah belum pernah mempublikasikan perhitungan baseline yang digunakan dalam penentuan target, termasuk capaian pengurangan emisi terhadap NDC. Implementasi NDC terhitung mulai 2020, seharusnya capaian dalam 2 tahun ini bisa dilaporkan. Kita juga tidak bisa memantau upaya yang dilakukan pemerintah sudah sesuai (on track) atau belum,” kata Yosi kepada Katadata (28/10). Selain itu, Dhitri menyebutkan bahwa belum ada peta jalan penurunan emisi dalam ENDC. “Padahal ini penting agar kita bisa melihat target tahunannya dan apa saja yang perlu dilakukan untuk mencapai target tersebut,” kata Dhitri.